Guru  sebagai Pelaku Transformasi Sosial 
oleh: Doni Koesoema A*)
Membahas peranan dan kedudukan guru dalam politik pendidikan di  Indonesia, secara spontan dua hal mesti menjadi perhatian kita. Pertama,  telaah dari sudut pandang historis faktual, dan kedua, telaah dari  sudut pandang normatif idealis. Telaah historis mendasarkan diri pada  data-data sejarah, sedangkan telaah normatif idealis mendasarkan diri  pada konsep, pemahaman dan nilai-nilai yang dipahami oleh guru sebagai  pelaku perubahan dalam memandang dunia dan masyarakat di mana mereka  hidup. Dua hal ini kiranya
patut mendapatkan perhatian kita ketika ingin menelusuri kembali  bagaimana peranan dan kedudukan guru dalam politik pendidikan di  Indonesia. Agar dapat menemukan kembali peranan guru sebagai pelaku  transformasi sosial dalam masyarakat perlulah kita memetakan beberapa  persoalan yang muncul berkaitan dengan dua hal di atas agar kita dapat  menemukan alternatif pengembangan bagi pembentukan diri guru sebagai  pelaku perubahan.
Peran guru dalam politik pendidikanJika kita bertanya apakah peranan guru dalam politik pendidikan, kita  mesti jelas dulu apa yang dimaksud dengan peranan guru dalam konteks  konstelasi politik di Indonesia. Yang saya maksud dalam hal ini adalah  peranan guru dalam proses pendidikan, atau dengan kata lain, bagaimana  guru berperan serta dalam mendisain dan terlibat dalam politik  pendidikan di Indonesia.
Jadi, peranan guru di sini sudah dibatasi bukan pada peranan politik  dalam arti luas, seperti menjadi caleg, politisi, dll, melainkan  menunjuk pada peranan yang khas guru dalam kerangka politik pendidikan.
Peranan politik guru dalam konteks ini bisa dipahami sebagai praksis  kekuasaan politik yang dimiliki oleh guru yang dilatihkan secara  bersama-sama sebagai salah satu cara kekuatan tawar menawar dalam proses  pendidikan, yaitu, penentuan dan pembuatan kebijakan politik  pendidikan, realisasi visi bersama bernegara dalam kerangka pendidikan,  yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” sehingga masyarakat dapat  mengenyam keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran.
Praktis kekuasaan politik pendidikan yang dimiliki guru tidaklah vakum  dari konteks, sebab praksis ini akan sangat bergantung dari konteks  politik secara keseluruhan. Konstelasi politik, aspirasi dan cita-cita  sosial dapat memengaruhi inspirasi dan cita-cita guru dalam menghayati  kinerjanya sebagai pendidik. Sebagai contoh, para pahlawan nasional dan  pendiri bangsa yang menghendaki bangsa ini merdeka, mereka adalah  guru-guru yang memiliki inspirasi dan visi pembebasan. R.A. Kartini,  misalnya, merindukan dan memiliki pandangan jauh ke depan agar bangsa  Indonesia, khususnya kaum perempuannya mampu mengenyam kemerdekaan  sehingga bebas dari belenggu kultural yang selama ini mengikatnya, agar  menjadi orang yang bebas, yang mampu menentukan dirinya sendiri dan  dengan demikian mengukuhkan martabat dirinya sebagai perempuan. Soekarno  memiliki visi jangka jauh agar bangsa ini menjadi bangsa yang mampu  berdiri sendiri, mandiri dan dengan demikian menjadi penentu bagi  perjalanan sejarahnya sendiri.
Dalam perjalanan sejarah, jika secara sekilas kita perhatikan,  inspirasi
para guru bangsa yang terjadi pada periode sebelum kemerdekaan sangat  kental didominasi oleh inspirasi pembebasan yang berujung pada  pembaharuan tatanan sosial dalam masyarakat. Katakanlah, guru waktu itu  memiliki visi transformasi sosial, yaitu, pembebasan dari belenggu  penjajahan agar bangsa Indonesia mampu menentukan dan membentuk  sejarahnya sendiri. Karena itu, para guru bangsa ini rela berjuang  mati-matian untuk mewujudnyatakan idealisme ini.
Namun pada periode setelah kemerdekaan, ketika kita sibuk berusaha untuk  mengisi makna kemerdekaan ini, ironisnya, para guru justru tercabut  dari spirit pembebasannya ini. Menguatnya peran Negara (etatisme) dalam  berbagai proses kehidupan bermasyarakat pada masa Orde Baru, semakin  membuat guru kehilangan inspirasi pembebasan ini. Pada masa Reformasi,  keadaan sesungguhnya tidak banyak berubah. Guru seperti memperoleh ruang  gerak untuk mengekspresikan dirinya melalu berbagai macam demo dan  mogok, namun semua itu seperti terbentur tembok dan bahkan malahan  kontraproduktif. Guru malah
dicaci sebagai sosok yang telah mengingkari dan mengkhianati  cita-citanya sendiri karena mereka lari dari tanggungjawab mereka  mendidik para siswa, dan malahan secara tanpa malu-malu dan terbuka  melakukan mogok dan demo untuk memperjuangkan kepentingan mereka  sendiri, seperti, kesejahteraan, naiknya tunjangan-tunjangan, konflik  dengan kepala sekolah, dll, sementara mengabaikan dan melalaikan anak  didik mereka yang butuh pendidikan.
Selain itu, berbagai macam organisasi guru tampaknya juga tidak  memiliki taring berhadapan dengan etatisme ini, bahkan organisasi  profesi guru ini alih-alih menjadi pembela, malahan menjadi perpanjangan  tangan Negara dalam menindas guru.
Berbagai macam gerakan demonstrasi dan mogok yang dilakukan guru, yang  secara sekilas bisa dipahami sebagai sebuah alat perjuangan politik, di  mana guru melatihkan praksis kekuasaan politis yang dimilikinya demi  tujuan tertentu, sesungguhnya merupakan sebuah pemahaman salah kaprah  atas pemaknaan kinerja guru sebagai pelaku perubahan. Guru sebagai  pelaku perubahan tidak dapat mengandalkan ekspresi kekuatan politiknya  melalui tata cara demonstrasi dan mogok. Perjuangan dengan kekuatan  fisik ini tentu saja jika terjadi dalam lingkup yang masif bisa menjadi  daya tawar politik, namun jika tidak, tindakan ini akan kontraproduktif  bagi kinerja guru sendiri.
Sudah lelah demo, capek, bahkan bisa jadi menjadi korban kekacauan atau  kerusuhan, dan ternyata juga tidak terjadi perubahan apa-apa yang  berarti. Tampaknya yang terakhir ini yang sering terjadi. Setelah demo  berakhir keadaan berlangsung seperti semula dan tidak ada perubahan  berarti.
Etatisme yang kuat, menggerus inspirasi guru sebagai pelaku politik dan
aktor perubahan karena daya-daya tranformatif yang dimiliki oleh guru
dimandulkan melalui berbagai macam kebijakan pendidikan. Sampai  sekarang, tampaknya, peranan guru sebagai pelaku perubahan yang memiliki  kemampuan untuk menentukan kualitas kinerjanya sendiri, belum juga  bertumbuh secara maksimal. Guru masih sekedar berfungsi sebagai tukang  yang mesti melaksanakan kebijakan Negara. Era standardisasi semakin  semakin menggerus inspirasi pribadi guru sebagai individu yang berhak  mengembangan visi dan inspirasinya dalam kerangka pendidikan.
Guru bagian dari masalahBerhadapan dengan kekuatan Negara, tampaknya guru tidak memiliki  kekuatan tawar menawar. Berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat  seringkali telah hadir begitu saja di lapangan sehingga guru tinggal  menjadi pelaksana atas kebijakan tersebut. Sering dikatakan bahwa guru  merupakan pelaku/agen perubahan. Namun fakta ini ternyata sulit atau  bahkan jarang kita temukan dalam sejarah politik Indonesia kontemporer,  baik setelah kemerdekaan, Orde Baru, maupun Zaman Reformasi. Peranan  signifikan para guru sebagai pelaku perubahan justru lebih banyak  terjadi dalam konteks sebelum kemerdekaan, dan
hari-hari awal pasca kemerdekaan, seperti tampil dalam sosok para  pendidik besar bangsa yang kita miliki, misalnya, R.A. Kartini, Ki  Hadjar Dewantoro, dll. Fenomena ini menunjukkan satu kebenaran  sederhana, bahwa pendidikan merupakan proses dialogis terus menerus  diantara para pelaku dengan kondisi historis masyarakatnya.
Yang menjadi masalah seringkali adalah bahwa ternyata guru adalah bagian  dari masalah itu sendiri. Karena itu, bagaimana mungkin mereka yang  berada dalam masalah mau berpretensi menjadi solusi bagi perubahan itu  sendiri?
Guru tidak mau berubah, itulah masalahnya. Lebih lagi, kalau mereka  sudah benar-benar sadar diri sebagai pelaku perubahan, mereka pun juga  tidak memiliki pemahaman jernih tentang objek perubahan yang diarah itu  sendiri.
Ketidakmampuan untuk memahami objek perubahan ini seringkali berakar  pada pendekatan filosofis yang dimiliki oleh masing-masing guru. Jika  guru memiliki gagasan filsafat bahwa pendidikan itu bertujuan untuk  mencetak individu yang terampil sehingga menjadi pribadi yang mampu  hidup secara mandiri dengan ketrampilan dan kemampuan kerja tertentu  dalam masyarakat, seluruh pengalaman mendidik yang ia lakukan pun akan  terarah ke muara ini. Maka latihan, training dan pelatihan akan  menempati porsi paling besar dalam kinerja seorang guru.
Guru: Intelektual transformatifGiroux (2008) berpendapat bahwa cara kita mendefinisikan peranan guru  dalam masyarakat menentukan cara di mana kita mengonstruksi tatanan  masyarakat. Kita mesti memahami kembali peranan para guru sebagai  intelektual transformatif dan terlibat (engaged and transformative  intellectuals).
Ini berarti kita mencoba memandang guru sebagai profesional yang  mampu dan mau merefleksikan prinsip-prinsip ideologis yang menjadi pandu  bagi praksis mereka, yang menghubungkan teori pedagogi dengan persoalan  sosial yang lebih luas, melatih kekuatan yang mereka miliki untuk  menguasai kondisi pekerjaan mereka. Dengan cara ini, guru mengembangkan  visi pembangunan tata masyarakat baru, yaitu, sebuah visi tentang  kehidupan yang lebih baik dan manusiawi melalui pendidikan dan  pengajaran yang mereka berikan. Pandangan ini lebih memosisikan peranan  guru sebagai pelaku perubahan dalam masyarakat. Pandangan guru tentang  masyarakat inilah yang menentukan bagaimana guru melaksanakan tugasnya  sebagai pelaku perubahan.
Agar menjadi pelaku perubahan, guru tidak dapat melestarikan pandangan  dan paradigma pendidikan yang sifatnya daur ulang dan atau sekedar  meneruskan pandangan yang dibawa oleh pasar. Demikian juga, guru tidak  bisa sekedar memberikan ketrampilan bagi siswa agar memiliki sikap  kritis terhadap situasi sosial di mana mereka tinggal. Di sini,  pandangan guru tentang siapa individu siswa menjadi penting, sebab akan  memengaruhi bagaimana ia bekerja sebagai pelaku perubahan. Individu  adalah mahluk yang bebas dan memiliki
kemampuan untuk terlibat dalam menentukan dirinya, sehingga dengan  demikian mereka dapat menjadi pelaku sejarah.
Guru mesti berani mulai mengembangkan paradigma baru yang inspirasi  dasarnya adalah nilai-nilai demokratis yang prinsip dasarnya adalah  partisipasi tiap individu dalam pengaturan tata kehidupan masyarakat.  Hanya melalui inspirasi demokratis inilah terdapat jaminan bahwa setiap  warga dalam masyarakat memiliki hak dan persamaan dalam menata hubungan  sosial, politik, dan ekonomi antar mereka. Keterlibatan dan partisipasi  aktif tiap individu dalam berdemokrasi memungkinkan terwujudnya  keadilan, dilindunginya hak-hak kelompok minoritas dan jaminan bagi  mereka yang kurang beruntung agar mereka dapat tetap terlibat aktif  dalam kehidupan masyarakat.
Tanpa ada keadilan dan persamaan dalam mengenyam pendidikan, lembaga  pendidikan hanya akan melestarikan ketimpangan dan mengelompokkan  orang-orang miskin menjadi bagian pasif dan beban bagi masyarakat.  Sekali lagi, gagasan guru tentang individu sangatlah penting, sebab  pandangan yang tidak adekuat terhadap individu justru bisa memandulkan  kinerja tranformatif guru itu sendiri. Contoh, kalau guru menganggap  bahwa orang miskin itu hanya pantas mengenyam pendidikan SMK, dia akan  mengarahkan anak-anak orang miskin
itu ke SMK, agar segera dapat memperoleh pekerjaan, tanpa memperdulikan  apakah pekerjaan itu merupakan pekerjaan bermakna, atau tanpa peduli  bahwa setiap individu berhak menggantungkan cita-citanya setinggi langit  tanpa dibatasi oleh keinginan terbatas sang guru.
Inspirasi demokratisGagasan dasar inspirasi demokrasi dalam pendidikan adalah kepercayaan  bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam  pembangunan masyarakat. Individu bersama komunitas membangun diskursus  dan praksis dalam kehidupan bersama yang saling menumbuhkan, bukan  saling menindas atau mendominasi satu sama lain. Ada keseimbangan dan  keadilan dalam memaknai peranan masing-masing dalam kebersamaan yang  sifatnya konstruktif dan penuh rasa hormat.
Dalam konteks inilah guru memiliki peranan sangat sentral dalam  menanamkan inspirasi demokratis ini pada setiap siswa agar kelak ketika  mereka terjun dalam masyarakat, mereka dapat terlibat secara aktif dan  produktif. Dengan demikian mereka dapat menyumbangkan potensi  pembentukan masyarakat baru yang lebih manusiawi, adil dan memberikan  rasa aman dan damai bagi anggota masyarakat tersebut.
Tugas utama guru sebagai pelaku perubahan bukanlah sekedar mengubah  perilaku siswa di sekolah menjadi lebih baik dan bertanggungjawab, baik  terhadap diri sendiri maupun orang lain, melainkan lebih dari itu, dari  perubahan perilaku individu menuju visi rekonstruksi sosial perbaikan  masyarakat melalui pengajaran dan pembelajaran. Setiap perubahan radikal  ini mengandaikan perubahan paradigma berpikir dalam diri guru. (Louis  & Murphy, 1994; Murphy & Louis, 1999).
Guru mendidik dan mengajar para siswa agar pada akhirnya para siswa  mampu mandiri dan terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat. Dengan  demikian, melalui pendidikan mereka dapat membentuk jiwa-jiwa merdeka,  kreatif yang mampu membangun tatanan baru dalam masyarakat berdasarkan  nilai-nilai yang mereka miliki. Pendidikan memiliki dimensi tranformatif  bagi pengembangan masyarakat, bukan hanya pengembangan kemampuan  akademis siswa.
Melainkan mengintegrasikan pengetahuan itu agar mereka dapat terlibat  aktif membentuk tatanan baru dalam masyarakat menjadi lebih baik. Untuk  itu reformasi pedagogis dari pihak guru diperlukan. Guru bukan sekedar  menjadi agen transfer ilmu, melainkan membentuk siswanya menjadi  individu yang mendiri dan bebas menentukan diri.
Sikap ini, menurut Giroux (2008), tidak bisa sekedar berupa  keterbukaan dari pihak guru untuk mendengarkan suara dari siswa atau  memuji narasi baik yang dapat ditulis oleh siswa secara kritis,  melainkan agar tidak jatuh pada narsisme, siswa mesti diajak untuk masuk  dalam kesadaran akan struktur dan tatanan sosial dalam masyarakatnya  supaya mereka “memahami alasan-alasan yang mendasarinya dan mengerti apa  artinya bekerja sama secara kolektif untuk mengubah struktur kekuasaan  yang bertanggungjawab atas terbentuknya relasi sosial” (106).
Guru sebagai pelaku perubahan akan menghasilkan para pelaku perubahan  karena baik guru maupun siswa sama-sama ingin menghayati kebebasan  dirinya sebagai manusia yang mampu memahami dan melaksanakan nilai-nilai  yang mereka miliki. Kebebasan membuat manusia mampu bertanggungjawab  atas hidup mereka sendiri dan hidup orang lain. Visi rekonstruksi sosial  mesti senantiasa menjadi dimensi dasar yang menjiwai setiap pengalaman  pengajaran dan pembelajaran di dalam kelas.
Karena itu, visi pembaharuan itu akan lebih efektif diterapkan dalam  rangka perubahan praksis pengajaran di dalam kelas dibandingkan dengan  tata cara turun ke jalan dan mogok. Perubahan praksis pengajaran di  dalam kelas,yang dibarengi dengan perubahan paradigma dari pihak guru  memungkinkan proses transformasi sosial dan perubahan itu terjadi dari  lingkungan yang kecil, dalam individu siswa, sekolah, yang pada  gilirannya akan memberikan pengaruh perubahan pada tatanan masyarakat  menjadi lebih baik.